Namaku Aini
Namaku Aini, di usiaku yang
ke 20 tahun ini, saat teman-temanku tengah sibuk merencanakan untuk
menikah muda. Bahkan banyak di antara mereka yang telah menikah dan
telah memiliki buah hati. Namun aku masih saja menikmati kesendirianku
ini, tanpa pernah terbesit di benakku untuk menyusul mereka ke
pelaminan. Entah kenapa pikiran itu tak sampai ke dalam memori otakku.
Mungkin karena aku masih betah dengan kondisi seperti ini, atau mungkin
karena aku ingin menyelesaikan studiku terlebih dahulu, atau mungkin ini
semua kerena trauma akan kisah masa laluku…***
“Bu, kapan aku bisa seperti teman-temanku? Saat kenaikan kelas tiba yang mengambil rapotku bukan cuma ibu, tapi juga ayah.” rengek seorang gadis kelas 4 SD kepada ibunya.
“Sabar ya Aini, kamu kan bisa menganggap ibu bukan hanya sebagai ibumu tapi juga sebagai ayahmu nak.” timbal ibuku dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dari kecil aku memang hanya di besarkan oleh seorang ibu dan aku pun tak tahu seperti apa sosok yang seharusnya aku panggil ayah itu. Bahkan aku juga tak tahu apakah dia masih ada di dunia ini atau tidak.
“Kenapa sih bu, Aini tidak punya ayah? Aini ingin seperti mereka bu, punya ayah dan punya keluarga yang lengkap. Bukan cuma punya satu orang tua bu.” rengekku lagi kepada ibu
Namun ibu tak menjawab pertanyaanku tadi. Ia hanya memelukku dengan erat, dari ujung matanya terlihat tetesan air mata yang coba ia tahan. Aku sungguh tak mengerti apa yang telah terjadi, pikiran anak kelas 4 SD belum bisa untuk mengartikan apakah yang tengah terjadi saat itu.
***
Ini adalah tahun terakhirku memakai seragam putih merah. Aku berhasil lulus dan masuk SMP terbaik di tempatku. Yang berbeda lagi saat ini aku telah memiliki seorang ayah, meskipun bukan ayah kandung tapi ia bisa menerima dan menyangiku seperti anaknya sendiri. Walau awalnya aku menolak kehadirannya karena aku takut kasih sayang ibu kepadaku akan berkurang. Tapi akhirnya aku bisa menerima kehadiran ayah baru di hidupku dan akhirnya saat kenaikan kelas yang mengambil rapotku bukan cuma ibu.
Kehidupan remaja sangat berbeda dengan masa kecil, ada satu hal baru yang aku rasakan disini. Aku mulai merasakan perasaan yang aneh terhadap seorang laki-laki yang bisa menarik perhatianku. Mungkin inilah awal dari masa pubertasku dan dialah laki-laki pertama yang berhasil singgah dihatiku.
“Dia pacar kamu ya Aini?” tanya seorang teman kepadaku
“Hehehe” aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan itu, karna aku sendiri tak tahu apakah pantas dia ku bilang pacar???
Waktupun terus berputar dan akhirnya menunjukkan kepadaku siapa sebenarnya orang yang aku sayangi itu…
“Aku gak nyangka ya ternyata kamu seorang playboy, aku benci sama kamu dan aku nyesel udah ngasih perasaan ini ke kamu.” bentakku kepadanya dengan nada penuh emosi dan kecewa
Dia hanya terdiam dan tak mampu berkata apapun, karena semua yang aku ucapkan benar. Dibelakang ku dia memiliki hubungan dengan gadis lain, yang ternyata gadis itu adalah temanku sendiri. Cinta monyetku yang pertama ini harus berakhir tragis karena sebuah perselingkuhan. Tapi aku juga tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas kejadian ini, karena sebagian penyebab dari semua ini adalah aku.
Masa terakhirku memakai seragam putih biru telah tiba. Aku pun ingin melanjutkan sekolah ke SMA, namun ternyata keinginanku ini harus tersendak oleh biaya…
***
Untuk bisa memakai seragam putih abu, aku harus mencari keluarga ayah kandungku terlebih dahulu. Karena untuk mengenyam pendidikan di bangku SMA tidaklah gratis. Sementara ibu dan ayahku tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan aku lagi.
“Aini, kemarin paman berkunjung ke rumah kakak dari ayahmu dan paman menceritakan semuanya. Bu Yuni bilang dia akan menyampaikannya kepada ayahmu dan dia juga menyuruh paman untuk membawa kamu ke rumahnya.” jelas pamanku setelah dia pergi ke kota seminggu yang lalu
Mendengar penjelasan paman tadi hatiku begitu bahagia karena akhirnya jalan untuk melanjutkan sekolah sudah mulai terbuka. Hal kedua yang membuat aku bahagia adalah kenyataan bahwa ayah kandungku masih hidup dan masih sehat. Memang tak bisa aku pungkiri, meskipun sudah ada ayah baru dalam hidupku tapi aku masih merindukan sosok itu. Aku hanya bisa bersyukur dan berterimakasih pada Alloh karena telah memberiku anugerah ini.
Namun semua kebahagiaan yang baru saja aku rasakan harus berkurang setelah mengetahui kenyataan bahwa ayah kandungku ternyata telah menikah lagi dan memiliki dua orang anak. Tapi semua itu tak seberapa dibandingkan dengan pernyataan yang di deklarasikan oleh kakak dari ayahku.
“Kalau memang kamu serius ingin sekolah, ibu dan keluarga disini siap untuk membiayai sekolahmu itu. Bahkan sampai kamu menikah pun kami siap membiayai semuanya. Tapi kalau kamu juga ingin bertemu dengan ayahmu ya kamu harus memilih, melanjutkan sekolah dan kami biayai atau bertemu dengan ayahmu.” ucap Bu Yuni dengan penuh ketegasan. Bak dipukul oleh sebuah palu raksasa seketika itu juga. Ingin sekali aku menangis kala itu, tapi aku harus kuat.
“Memangnya kenapa ya bu Aini harus memilih? Memang ayah sendiri tak ingin bertemu dengan Aini? Apakah ayah sudah lupa kalau dia punya anak selain anaknya yang sekarang?” tanyaku dengan lirih
“Ayahmu sudah pernah melihatmu dan dia juga sering lewat ke daerah tempat tinggalmu. Tapi untuk sekarang dia memang belum siap untuk bertemu langsung denganmu. Ibu juga tidak tahu apa alasannya, dia menyampaikan pesan seperti itu ke ibu. Menurut ibu sih sekarang kamu sekolah dulu saja yang benar, mumpung ayahmu itu mau biayain sekolahmu. Masalah ketemu dengan dia, nanti juga kalau sudah waktunya kamu pasti akan ketemu dengan ayahmu.” jawab Bu Yuni menasehatiku
Nasehat Bu Yuni memang benar, pasti suatu saat nanti aku akan bertemu dengan ayahku. Tapi yang membuatku kecewa, kenapa ayah sampai bilang belum siap bertemu denganku. Memang aku punya salah apa kepadanya sehingga dia tak mau bertemu denganku. Sampai detik ini pun aku belum bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaanku ini.
Sejak saat itu kepercayaanku terhadah seorang laki-laki mulai berkurang. Apalagi dengan semua kekecewaan yang aku dapatkan dari mantan-mantan kekasihku. Mereka menghianati aku dengan berbagai cara. Semua kejadian ini membuat lelah dan malas untuk menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Sampai akhirnya aku asik dengan kesendirianku ini hingga aku meniggalkan seragam putih abuku dan masuk di universitas yang aku inginkan.
Semua ini aku dapatkan dari hasil seleksi beasiswa untuk masuk di perguruan tinggi negeri. Karena Bu Yuni hanya mampu membiayai aku hingga aku tamat SMA. Padahal dulu dia sempat bilang kepadaku siap untuk membiayai semua kebutuhanku bahkan sampai aku menikah. Tapi itulah manusia, apa yang dia katakan sekarang belum tentu itu yang akan dia lakukan kelak.
***
“Aini, mau sampai kapan kamu sendiri terus kayak gini? Apa kamu gak kesepian? Temen-temen kamu yang lain udah pada punya pasangan tuh. Ayolah mulai buka hati kamu untuk cinta yang baru.” ujar Dita sahabat karibku sejak kecil, dia tahu hampir semua kisah hidup dan kisah cintaku dan dia juga tahu kenapa sampai saat ini aku masih sendiri.
“Ah kamu ini bisa ajah Dita. Kamu sendiri kan juga sama seperti aku.” timpalku dengan nada sedikit ketus
“Ya paling tidak aku sekarang sudah punya kekasih yang Insya Alloh akan menjadi jodohku kelak. Perputaran waktu itu gak kerasa Aini, nanti tahunya kita sudah lulus kuliah dan diwisuda saja. Kalau kita tidak mencari pasangan hidup dari sekarang, nanti kedepannya akan susah. Lagipula kita ini perempuan, tidak gampang bagi perempuan untuk mencari pasangannya.” sahut Dita menasehatiku
“Tapi kan Alloh sudah menjamin bahwa setiap manusia itu punya pasangannya masing-masing.” jawabku tak mau kalah
“Memang seperti itu, tapi yang namanya jodoh itu bukan hanya ditunggu saja. Dia juga harus kita cari dan kita perjuangkan. Jangan karena trauma di masa lalu terus kamu takut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lagi. Perlu kamu tahu Aini, tidak semua laki-laki sama seperti apa yang ada dibenak kamu. Banyak laki-laki diluar sana yang baik dan bertanggung jawab yang memang belum kamu kenal.” jelas Dita kepadaku
Penjelasan Dita ada benarnya juga, memang tidak semua laki-laki seperti ayah kandungku dan masih banyak diantara mereka yang belum aku kenal. Tapi pengalamanku dengan kekasih-kekasih ku dulu juga tidak mengenakkan. Itu sebabnya sampai saat ini aku selalu membatasi hubungan dengan laki-laki yang mendekatiku hanya cukup sebatas teman atau sahabat saja.
***
“Hai, kamu pasti Aini ya?” sapa seseorang yang membuyarkan semua lamunanku
“Iya, kamu siapa?” tanyaku dengan heran
“Kenalin, aku Junior anak kampus sebelah. Kemarin aku menghadiri acara peluncuran novel kamu. Ceritanya bagus ya, aku sampai meneteskan air mata saat membacanya.” katanya penuh pujian
“Terimakasih, aku rasa pujianmu terlalu berlebihan deh.” timpalku dengan nada merendah. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku merasa deg-degan dekat orang ini. Apa karena pujiannya yang terlalu berlebihan? Atau karena perasaan lain yang aku rasakan saat ini?
Perbincanganku dengan Junior terus berlanjut, hingga kami pun bertukar nomor telpon dan kami berencana untuk pergi makan berdua. Aku merasa ada yang lain dari sosok seorang Junior yang bisa membuatku tertarik dan mau membuka diri untuknya.
“Cie yang mau ngedate hahaha.” ledek Dita saat aku tengah sibuk berias untuk pergi makan dengan Junior
“Apa sih Dita kamu ini?” kataku sambil manyun dengan muka yang sedikit merah
“Ahahaha mukanya langsung merah gitu ih Aini.” celoteh Dita mengejekku lagi
“Ah kamu ini seneng banget godain aku. Kamu sendiri kan yang bilang kalau aku harus membuka diri dan mulai mencari laki-laki yang tepat buat aku. Kenapa sekarang diledekin kayak gini?” ujarku
“Aku gak ngeledek kamu, justru aku seneng banget akhirnya kamu bisa buka hati kamu lagi buat laki-laki. Semoga saja dia bisa jadi yang terbaik ya buat kamu.” kata Dita penuh harapan
Harapan Dita tadi adalah harapanku juga. Aku berharap Junior bisa menjadi yang terbaik buat aku dan dia bisa menjadi pelabuhan terakhirku. Harapanku ini ternyata berbuah manis, karena malam itu juga Junior tak hanya mengajakku makan. Tapi dia juga sekaligus menyatakan cinta kepadaku dan langsung melamarku.
“Aini, aku bukan seorang laki-laki yang pandai merayu. Tapi dengan bismillah aku akan meminang kamu untuk menjadi calon pendamping hidupku dan calon ibu dari anak-anakku.” kata Junior dengan penuh keseriusan. Tidak ada kata lagi yang bisa ku ucap saat cincin itu melingkar di jari manisku. Sungguh kebahagiaan yang sangat begitu besar.
Benar apa yang dikatakan orang kepadaku, bahwa tidak semua laki-laki di dunia tidak baik. Walaupun sampai detik ini aku belum bisa bertemu dengan ayah kandungku. Tapi aku yakin telah ada waktu yang tepat yang direncanakan Alloh untuk saat itu. Sama halnya saat aku bisa menemukan Junior yang sekarang menjadi tunanganku. Semangat baru yang diberikan Junior kepadaku semakin membuatku labih giat untuk menyelesaikan studiku di bangku universitas ini. ***
Karya: Eni Nur’aeni ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar